Infoterkini - DUNIA pers Indonesia dikejutkan dengan kejadian penangkapan wartawan dengan alasan perintangan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi.
Tiga orang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka perintangan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, yakni Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar (TB), Marcella Santoso dan Junaedi Saibih selaku advokat.
Ketiganya ditersangkakan atas Dugan melakukan permufakatan jahat untuk membuat pemberitaan dan konten di media sosial yang mendiskreditkan Kejagung dalam penanganan perkara korupsi PT Timah Tbk dan importasi gula di Kementerian Perdagangan (Harian Kompas, 22/5/2025).
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar menjelakan tersangka Marcella Santoso dan Junaedi Saibih mengorder dan membayar sebesar Rp 478,5 juta kepada Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar untuk membuatkan berita-berita dan konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan Agung.
Penahanan atas wartawan ini mendapat respon dari Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan. Herik mengatakan, IJTI mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di segala sektor, termasuk di lingkungan penegakan hukum.
Setiap warga negara termasuk insan pers yang diduga terlibat tindak pidana, wajib diproses sesuai ketentuan hüküm. Namun demikian, IJTI menyoroti penetapan tersangka yang didasarkan pada aktivitas pemberitaan, yang merupakan bagian dari kerja jurnalistik.
Produk jurnalistik termasuk yang bersifat kritis terhadap institusi negara adalah bagian dari fungsi kontrol pers. Ini dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Bila tuduhan terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV berkaitan dengan isi siaran atau konten jurnalistik, semestinya Kejaksaan Agung berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers.
Proses hukum yang dilakukan tanpa melibatkan Dewan Pers berpotensi mencederai kebebasan pers. Hal ini juga berpotensi menciptakan preseden buruk yang dapat dimanfaatkan pihak tertentu untuk menekan media yang menjalankan fungsi kritik secara profesional dan sah.
Sesuai dengan UU Pers, setiap sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib diselesaikan melalui Dewan Pers, Bukan jalur pidana. Langkah pemidanaan terhadap jurnalis atau media tanpa dasar yang jelas dan tanpa prosedur adalah ancaman terhadap demokrasi.
Hal ini juga mengancam kebebasan berekspresi. Oleh sebab itu, IJTI menyerukan seluruh insan pers untuk tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik dan menjaga independensi dalam bertugas. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia juga meminta aparat penegak hukum untuk menghormati prinsip kemerdekaan pers, serta tak menggunakan pendekatan represif terhadap aktivitas jurnalistik. IJTI juga akan segera melakukan koordinasi dengan Dewan Pers untuk memastikan perlindungan terhadap kerja jurnalistik tetap terjaga dalam koridor hukum yang benar.
Sementara itu Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida mengatakan, berita dengan narasi negatif harusnya tidak dipidana tapi diadukan ke Dewan Pers Karena Dewan Pers yang berhak menilai dan memutuskan, bukan lembaga lain.
AJI menegaskan akan sangat berbahaya jika sebuah berita dianggap atau dikenai pasal perintangan hukum oleh lembaga selain Dewan Pers. Banyak media yang benar-benar murni meliput dengan mengkritisi kasus hukum.
Apalagi media sering menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan. Narasi seperti ini juga akan jadi presenden buruk untuk kriminalisasi pers ke depannya. Dewan Pers harus dilibatkan dalam semua sengketa pers.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dapat digunakan untuk isu pers. AJI mengimbau media dan jurnalis untuk selalu mengikuti kode etik jurnalistik sehingga bisa terus independen.
Hukum Pers di Indonesia
Kasus ini menjadi menarik karena salah seorang yang menjadi tersangka adalah wartawan. Dalam siaran pers resmi Kejagung disebutkan tersangka TB memproduksi acara TV Show melalui dialog, talkshow, dan diskusi panel di beberapa kampus yang diliput oleh JAK TV.
Tindakan yang dilakukan tersangka TB dan dua tersangka lain bermaksud untuk membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan dalam penanganan perkara baik saat penyidikan maupun di persidangan sehingga Kejaksaan dinilai negatif oleh masyarakat dan perkaranya tidak lanjut ataupun tidak terbukti di persidangan.
Tersangka TB disangka melanggar Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Menjadi menarik karena di negara ini ada hukum pers yang mengatur tata kelola pers yang di dalamnya dıatur bagaimana wartawan bekerja. Hukum pers merujuk pada aturan dan peraturan yang mengatur kebebasan pers, tanggung jawab media massa, dan hubungan antara media dan masyarakat.
Hukum pers bervariasi di setiap negara, tergantung pada sistem hukum dan nilai-nilai yang berlaku di masing-masing negara.
Hukum pers umumnya melindungi kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang penting. Kebebasan pers mencakup hak wartawan dan media massa untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi tanpa campur tangan atau tekanan dari pemerintah atau pihak lain.
Kebebasan pers juga melibatkan hak masyarakat untuk menerima informasi yang akurat dan beragam. Fungsi Hukum Pers antara lain:
Melindungi Kebebasan Pers Fungsi utama hukum pers adalah melindungi kebebasan pers sebagai hak fundamental individu dan sebagai penjaga demokrasi. Hukum pers memberikan perlindungan hukum terhadap campur tangan pemerintah atau pihak lain yang dapat menghalangi atau membatasi kebebasan pers.
Menjaga Keseimbangan antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Hukum pers bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab media massa. Dalam menjalankan tugasnya, media massa memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan berdasarkan fakta serta mematuhi etika jurnalistik.
Mencegah Penyalahgunaan Media Hukum pers memiliki peran penting dalam mencegah penyalahgunaan media. Dengan adanya undang-undang dan regulasi yang mengatur media massa, misalnya terkait fitnah atau pencemaran nama baik, hukum pers dapat menghindari penyebaran informasi yang salah atau merugikan.
Menjamin Akses Informasi yang Adil Hukum pers memastikan bahwa masyarakat memiliki akses yang adil dan terbuka terhadap informasi. Kebebasan informasi yang dijamin oleh hukum pers memungkinkan warga untuk menerima berbagai sudut pandang dan mempertimbangkan opini yang berbeda dalam pembentukan pendapat.
Melindungi Hak dan Kepentingan Individu Hukum pers juga melindungi hak dan kepentingan individu dari pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, atau penyebaran informasi yang merugikan. Hak untuk memperoleh perlindungan dari media massa terhadap dampak negatif adalah salah satu fungsi penting hukum pers.
Menjaga Integritas Jurnalistik Hukum pers berperan dalam menjaga integritas jurnalistik dengan mengatur kode etik jurnalistik, standar profesional, dan perlindungan terhadap wartawan. Dengan adanya hukum pers, wartawan diberikan pedoman dalam melaksanakan tugas jurnalistik mereka dan melindungi mereka dari tekanan atau ancaman.
Memberikan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Hukum pers juga memberikan mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan. Jika ada perselisihan atau pelanggaran, baik oleh media atau individu yang terkena dampak, hukum pers menyediakan saluran untuk penyelesaian melalui pengadilan atau lembaga lain yang berwenang.
Hukum pers di Indonesia didasarkan pada beberapa asas penting, seperti:
Asas Kemerdekaan Pers: Pers harus bebas dari campur tangan atau tekanan dari pihak manapun.
Asas Keadilan: Pers harus memberikan ruang bagi pihak yang dirugikan untuk memberikan tanggapan.
Asas Supremasi Hukum: Pers harus tunduk pada hukum dan menjunjung tinggi keadilan.
Hukum pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini mengatur hak dan kebebasan pers, etika jurnalistik, kewajiban media, hak jawab, serta sanksi hukum untuk pelanggaran pers. UU Pers juga menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara, termasuk hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal 1 Ayat 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjelaskan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Kegiatan jurnalistik dalam
Pasal 1 Ayat 1 UU Pers Nomor 40 tahun 1999 meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui berbagai media. Pasal 7 Ayat 2 wartawan memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sementara Pasal 8 wartawan dalam menjalankan profesinya mendapat perlindungan hukum.
Pasal 15 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 mengatur tentang pembentukan Dewan Pers yang independen untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Pasal 15 ayat 2 Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
Melakukan pengkajian untuk mengembangkan kehidupan pers;
Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah;
Memfasilitasi organiasi-organiasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
Mendata perusahaan pers.
Berdasarkan paparan di atas, maka Kerja Kerja jurnalistik seorang wartawan tunduk dan patuh atas UU Pers No 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik. Merujuk Pasal 15 Ayat 2 Dewan Pers diberi amanat sebagai “hakim” atas kerja kerja jurnalistik wartawan, bukan polisi juga jaksa. Merujuk keterangan pers Kejagung yang menjelaskan tersangka TB “bermaksud untuk membentuk opini publik dengan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan” naka sesuai UU Pers No 40 Tahun 1999 yang bisa menilai isi berita adalah Dewan Pers dengan rujukan hukum pers.
Untuk itu, jika Kejagung merasa dirugikan oleh berita negatif Jak TV, langkah yang sesuai koridor hüküm adalah membuat laporan ke Dewan Pers. Konstruksi menilai “Berita Negatif” bukan ranah Kejagung Tapi ranah Dewan Pers.
Apalagi UU yang menjadi rujukan Dewan Pers bersifat lex specialist derogat legi generali yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa aturan khusus (lex specialis) mengesampingkan aturan umum (lex generalis). Ini berarti jika ada aturan hukum yang umum dan aturan hukum yang khusus yang mengatur hal yang sama, maka aturan khusus yang akan diterapkan.
Atas dasar laporan tersebut, Dewan Pers akan bekerja memeriksa perkara hingga mengambil putusan. Putusan Dewan Pers dapat ditindajanjuti Kejagung. Langkah Kejagung mentersangkakan wartawan bisa jadi preseden yang buruk bagi kemerdekaan pers di Indonesia.
Bukan tidak mungkin polisi bisa mentersangkakan wartawan akibat polisi Boleh menafsirkan “berita negatif” menurut persepsinya. Padahal sudah ada lembaga yang dibentuk berdasarkan UU yang salah satu fungsinya adalah “menilai berita” yakni Dewan Pers
Menegakkan Garis Api
Di sisi lain, kasus ini membuka kotak pandora yang selama ini menjadi dilema dalam pengelolan newsroom (ruang redaksi, red). Yang secara terbuka media massa membuat garis yang tegas antara Kerja redaksi dan Kerja bisnis adalah TEMPO.
Dalam kerja jurnalistik Tempo, berlaku prinsip garis api: Bagian iklan dan redaksi bekerja dalam koridornya sendiri. Isi pemberitaan tidak akan dan tidak boleh dipengaruhi konten iklan, demikian pula sebaliknya.
Di Tempo, penampakan iklan dan berita harus bisa dibedakan agar diketahui pembaca. TEMPO memberikan penjelasan secara terbuka atas beredarnya Surat penawaran bisnis ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Surat penawaran bisnis itu dikirim tanggal 20 September 2024 merespons tawaran lisan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Surat tim bisnis itu merupakan respons formal untuk meminta audiensi kepada Kominfo atas tawaran lisan tersebut.
Kominfo mengontak tim bisnis Tempo dengan menawarkan iklan berupa berita berbayar yang dibuat redaksi tentang capaian 10 tahun Presiden Jokowi. Karena melanggar kode etik jurnalistik dan prinsip garis api, Tempo menolak tawaran itu.
Redaksi menyiapkan liputan tentang operasi memoles Jokowi dengan bertanya kepada tim bisnis apakah ada penawaran iklan dari Kominfo dengan tema capaian 10 tahun Jokowi.
Seperti termuat dalam tulisan utama liputan “Operasi Memoles Citra” edisi 14 Oktober 2024, ada keterangan Tempo mendapat tawaran tapi menolak berita iklan tersebut.
Di Indonesia rasa ya baru TEMPO yang berani secara terbuka menegaskan newsroomnya steril dan independen dan bebas dari tarikan kepentingan bisnis media. Sementara kita ketahui bersama tak sedikit pemilik media massa besar adalah tokoh politik bahkan Pemimpin partai politik sehingga sulit kita memberikan kesaksian jika newsroom mereka independen dari kepentingan pemilik.
Kebijakan redaksi untuk membuat garis api itu ranah internal perusahaan pers tersebut. Peristiwa yang terjadi di newsroom JAK TV dapat dipastikan lantaran Redaksi tidak memiliki kebijakan garis api seperti TEMPO.
Apalagi jika dari aspek bisnis, media massa tersebut lagi goyah ekosistem bisnisnya sehingga “terpaksa” Redaksi pun ikut mencari revenue agar awak media massa itu bisa gajian.
Yang terjadi adalah berita “di setting” untuk kepentingan pemesan, berita “di bayar”. Padahal hal tersebut bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik. Untuk menilai apakah Berita itu di “setting”, berita “dibayar” adalah ranah Dewan Pers bukan Kejagung (*)
0 Komentar