Infoterkini -Makassar, Di sebuah ruang kelas, seorang dosen membuka perkuliahan dengan sebuah pertanyaan, "Apa makna kampus bagi kalian?" Sejenak, suasana menjadi hening.
Mahasiswa merenung.
Ada yang kemudian menjawab, kampus adalah tempat menimba ilmu, ada juga yang menyahut kampus adalah tempat mengasah keterampilan, membangun relasi dan meraih masa depan.
Namun, benarkah hanya itu?
Driyarkara, seorang pemikir besar indonesia pernah berkata, "Kampus adalah cahaya bagi masyarakat." Kampus bukan sekadar tempat mencari dan menumpuk gelar, tetapi yang terpenting ialah ruang di mana manusia dibentuk agar memiliki logos (akal budi), ethos (moralitas), dan pathos (kepedulian). Pendidikan tinggi, katanya, harus mencerdaskan dan sekaligus membangun manusia yang utuh—yang tak hanya pintar, tetapi juga peduli dan beretika.
Karena itulah kampus sering kali digambarkan sebagai kawah candradimuka bagi para inteligensia, sebuah persada tempat ilmu pengetahuan bersemayam, kearifan ditumbuhkan, dan karakter ditempa dalam bara keberanian.
Namun, problemnya, di tengah gemuruh idealisme yang digaungkan tersebut, terselip kisah-kisah ironis yang memilukan dan memalukan. Kampus ternyata tidak semulia itu, disana juga tersimpan berbagai praktik busuk yang mereduksi wibawa akademik, tapi seolah-olah suci karena bersembunyi di balik topeng akademik.
Kasus pelecehan seksual oleh dosen di berbagai kampus, seperti di UNNES, UNHAS, dan yang terbaru di Universitas Negeri Makassar (UNM) hanyalah serpihan kecil dari fenomena gunung es kekerasan seksual.
Sebagai menara kearifan, kampus semestinya menjadi arena di mana relasi kemanusiaan dan sikap ilmiah menjadi budaya dan prinsip utama. Sayangnya dalam kenyataan ia justru menjadi ruang yang meneguhkan hierarki kuasa.
Dosen, dengan otoritas akademiknya, seperti memiliki kendali atas masa depan mahasiswa—nilai, rekomendasi, hingga akses terhadap peluang akademik dan profesional.
Relasi kuasa ini menjadikan mahasiswa rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, kekerasan, termasuk diantaranya pelecehan verbal hingga pemaksaan seksual.
Penulis :
M. Yunasri Ridhoh (Peneliti VVRC/Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Makassar)
0 Komentar