Wapres : Indonesia Harus Tiru Negara Sukses Kolaborasikan Pengetahuan dan Kelembagaan



INFO TERKINI ■  
JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin menginginkan Indonesia melakukan lompatan kemajuan melalui penguasaan pengetahuan, teknologi, dan juga inovasi. Wapres menekankan, upaya yang dilakukan antara lain dengan menggabungkan pengetahuan dan teknologi dengan kelembagaan yang solid.

"Karena negara yang terbukti menghasilkan capaian yang gemilang adalah negara yang berhasil menggabungkan pengetahuan dengan kelembagaan yang solid," kata Wapres saat menghadiri virtual acara Wisuda Periode VII Universitas Brawijaya, Sabtu (12/2/2022).

Wapres mengatakan, ini karena kelembagaan yang inklusif akan mendorong kinerja ekonomi. Sebaliknya, kelembagaan ekstraktif justru memperburuk kinerja ekonomi suatu negara.

Ia mengungkap, terdapat lima karakter pokok dari negara yang berhasil memadukan pengembangan teknologi dan kelembagaan yang inklusif. Pertama, sumber daya manusia (SDM) di negara tersebut adalah pencipta, bukan pengekor.

"Kedua, pendidikan formal dan informal ditujukan untuk menambah stok pengetahuan dan keterampilan, bukan semata mengejar gelar kesarjanaan. Dan ini terbukti dalam praktik di lapangan," kata Kiai Ma'ruf.

Ia melanjutkan, yang ketiga adalah insentif kelembagaan inovasi dalam jumlah besar, baik pada lingkup negara, korporasi, maupun komunitas. Keempat, alokasi dan jenis kegiatan di dalam mata anggaran publik dirombak supaya menghasilkan inovasi, bukan sekadar bersandarkan kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).

Sedangkan kelima, institusi pendidikan dan riset menjadi jangkar ekonomi yang mendorong arah pembangunan ekonomi. "Tepat pada titik inilah pekerjaan rumah transformasi ekonomi menanti Indonesia," ujarnya.

Jika dibandingkan dengan negara yang berhasil melakukan penggabungan tersebut seperti Korea Selatan dan Finlandia, Indonesia masih jauh tertinggal. Ia menyebut, data menunjukkan jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain.

Jumlah peneliti setara penuh waktu per satu juta penduduk di Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 216 orang. Sedangkan China dan Rusia jumlah penelitinya masing-masing sebanyak 1.307 dan 2.784 per satu juta penduduk pada tahun yang sama.

Indonesia juga tertinggal jauh dibanding ketersediaan peneliti di Jepang dan Korea Selatan, yakni berurutan sebanyak 5.331 dan 7.980 menurut data UNESCO Institute for Statistics 2016–2018. "Demikian pula, ketersediaan ilmuwan dan insinyur yang diketahui dari persentase lulusan pendidikan tinggi di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) di Indonesia juga masih rendah," katanya.

Ia mengatakan, persentase lulusan bidang STEM di Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 19,42 persen atau tergolong rendah dibandingkan negara anggota G20 lainnya, seperti India 32,65 dan Rusia 31,06 persen. Kondisi itulah, kata Wapres, yang menjadi penyebab jumlah paten di Indonesia juga belum banyak.

Pada tahun 2020, jumlah paten di Indonesia hanya 1.309, sementara itu jumlah paten di India pada tahun yang sama mencapai 23.141, Amerika Serikat 269.586, dan Tiongkok bahkan telah mencapai 1.344.817 aplikasi paten.

Selain itu, kondisi tersebut berimplikasi pada inovasi yang belum menjadi praktik keseharian dalam banyak lapangan kehidupan, khususnya di bidang ekonomi. "Dalam laporan bertajuk Global Innovation Index 2021 disebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat empat terbawah negara inovatif di Asia Tenggara. Padahal, slogan populer hari ini adalah inovasi atau mati," kata Wapres. (*)

Sumber Dari REPUBLIKA.CO.ID

0 Komentar